BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era
Globalisasi yang melanda seluruh dunia mempengaruhi semua bidang
kehidupan. Namun yang paling tampak dan terasa adalah bidang ekonomi,
khususnya perdagangan. Era ini ditandai dengan lahirnya berbagai macam
perjanjian multilateral maupun bilateral yang menjurus kepada kondisi
yang borderless dalam dunia perdagangan.
Perkembangan
ekonomi di Indonesia semakin bertambah pesat, hal ini disebabkan adanya
kebijakan pemerintah dalam pembangunan nasional yang diarahkan pada
peningkatan efisiensi perdagangan dalam dan luar negeri serta menunjang
setiap peningkatan produksi ekspor dan perluasan lapangan kerja.
Adapun
kebijakan pemerintah yang paling menonjol dan mempunyai peranan sangat
penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah dengan pembukakan diri terhadap
penanaman modal asing sebagai pelengkap dari modal dalam negeri dengan
mengeluarkan Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang penanaman modal
asing.
Pertumbuhan
tersebut banyak membawa hal-hal yang positif, namun juga memberi dampak
yang negatif. Hubungan bisnis atau perjanjian dalam dunia perdagangan,
memang memberikan dampak yang positif, namun disisi lain selalu ada
kemungkinan timbulnya perbedaan paham, perselisihan pendapat maupun
pertentangan atau sengketa sebagai akibat dari adanya salah satu pihak
yang berselisih terhadap kontrak dagang tersebut. Terjadinya
perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu
pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik
ataupun karena ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak
lainnya yang kemudian timbul rasa untuk menuntut penyelesaian yang
biasanya diselesaikan melalui jalur hukum (pengadilan).
B. Rumusan Masalah
Perselisihan
dan sengketa bisnis atau dagang yang terjadi diantara dua pihak yang
melakukan hubungan kerjasama menyangkut pelaksanaan kontrak bisnis,
keduabelah pihak dapat menyelesaikan masalah tersebut secara
kekeluargaan atau dengan kata lain musyawarah.
Apabila musyawarah tidak mencapai kesepakatan, para pihak dapat menyelesaikannya dengan menempuh jalan lain melalui:
1. Menyerahkan sengketa untuk diputus oleh Peradilan Umun atau Pengadilan Negeri.
2. Menyerahkan sengketa untuk diputus oleh arbitrase.
Bagi
dunia bisnis, commercial arbitration sudah mereka anggap a business
executive’s court sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Karena
mereka berpendapat, penyelesaian sengketa bisnis melalui peradilan resmi
kurang mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa, pada
umumnya memakan waktu yang lama disebabkan faktor prosedur sistem
peradilan sangat kompleks, rumit dan berbelit. Disamping itu, kalangan
dunia bisnis beranggapan penyelesaian sengketa dibidang bisnis, kurang
dipahami oleh para hakim jika dibanding dengan mereka yang berkecimpung
dalam dunia bisnis itu sendiri. Selain itu juga karakteristik arbitrase
yang tidak terlalu formal sehingga relatif lebih santai dan sifat
putusannya, langsung bersifat final dan banding, karena putusan
arbitrase tidak bisa naik banding, kasasi, atau ditinjau kembali.
Melihat permasalahan diatas, maka timbul beberapa pertanyaan:
1. Apakah penyelesaian sengketa melalui peradilan arbitrase lebih efektif dibanding dengan peradilan resmi (negeri)?
2. Sejauh mana keunggulan peradilan arbitrase dibanding peradilan biasa dalam hal penyelesaian sengketa?
BAB II
PENGATURAN MENGENAI ARBITRASE
A. Definisi Arbitrase
Kata
“arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga
dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama,
seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris),
arbitrage atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti
kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di
Indonesia dikenal dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengaturtentang acara dalam
tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang
yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa
disebut “arbiter”.
Menurut
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud
dalam dua bentuk, yaitu:
- Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam suatau perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
- Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Sebelum
UU arbitrase berlaku, ketenyuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal
615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan
pasal 3 ayat 1 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap
diperbolehkan.
B. Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase
dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui
badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan
aturan-aturan yang sengaja di bentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya
Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan
berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase
serta prosedur pelaksanaan yang yang telah disepakati oleh para pihak.
Arbitrase
insitusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai
badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri.
Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh
badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
maupun yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari
International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules
dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes
(ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan
sistem arbitrase sendiri-sendiri.
C. Lingkup Arbitrase
Objek
perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar
pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang
Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun
kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik
intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan
negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur
dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE
A. Sengketa Dagang
Sengketa
atau perselisihan dalam kegiatan dagang sebenarnya sesuatu yang tidak
diharapkan terjadi, karena akan merugikan pihak-pihak yang bersengketa.
Oleh sebab itu, kemungkinan terjadinya sengketa dagang perlu
diminimalisasi atau dihindari, meskipun demikian terkadang sengketa
tidak dapat dihindari karena adanya kesalahpahaman, dan pelanggaran oleh
salah salah satu pihak, atau timbul kepentingan yang berlawanan.
Perbedaan paham, perselisihan pendapat, pertentangan maupun sengketa
tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan harus diselesaikan
secara memuaskan bagi semua pihak. Meskipun tiap-tiap masyarakat
memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan perselisihan tersebut,
akan tetapi perkembangan dunia usaha yang berkembang secara universal
dan global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang
homogen, “menguntungkan” dan memberikan rasa “aman” dan keadilan bagi
para pihak.
B. Peradilan Arbitrase
Salah
satu alternatif yang dapat ditempuh apabila terjadi sengketa adalah
dengan menggunakan arbitrase sebagai peradilan swasta, arbitrase ini
dapat dijadikan solusi terbaik dari perselisihan yang terjadi, karena
penyelesaian sengketa melalui peradilan wasit (arbitrase) memiliki arti
penting dibanding dengan pengadilan resmi seperti yang dikemukakan oleh
HMN Purwosutjipto, diantaranya:
- Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat.
- Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
- Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
- Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Apabila
para pihak telah memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase baik
secara tertulis dalam kontrak maupun diluar kontrak, yang dengan tegas
memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memutus pada tingkat pertama
dan terakhir, maka hal ini mengikat mereka sebagai Undang-undang sesuai
dengan asas keperdataan yang diatur dalam pasal 133 K.U.H perdata.
Dengan
demikian pihak-pihak yang berselisih memilih cara penyelesaian sengketa
antara mereka dengan mengangkat seorang arbiter atau lebih, yang
bertindak sebagai penengah (arbitrator) dan memiliki kekuasaan untuk
memutus (arbitrator power) menurut kebijaksanaanya.
C. Putusan Arbitrase
Dalam
menyelesaikan perselisihan dalam prakteknya para arbiter memutuskan
sebagai orang-orang baik, menurut keadaan dan kepatuhan. Hal ini sesuai
dengan prinsip-prinsip umum mengenai kontrak dalam hukum, yang harus
dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal K.U.H
perdata. Para arbiter yang diberikan kekuasaan untuk memberikan
keputusan sesuai dengan keadilan maka keputusan harus sesuai dengan
peraturan yang berlaku, mereka juga terikat memberikan alasan-alasan
untuk keputusan mereka dan memperhatikan peraturan-peraturan hukum.
Pemeriksaan
dalam arbitrase dapat mengikutsertakan pihak ketiga di luar perjanjian
dalam proses penyelesaian sengketa dengan syarat terdapat unsur
kepentingan yang terkait, keikutsertaannya disepakati oleh para pihak
yang bersengketa, dan juga disetujui oleh arbiter atau majelis yang
memeriksa sengketa yang besangkutan (Pasal 30). Para pihak bebas
menetukan acara arbitrase yang akan digunakan selama tidak bertentangan
dengan Undang-undang.
Putusan
arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang berlaku, kecuali
dalam klausula atau persetujuan arbitrase tersebut telah diberikan
kekuasaan kepada (para) arbiter untuk memutus menurut kebijaksanaan (ex
aequo et bonu) (pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang diambil harus
menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikut amar putusan
nya, yang disertai dengan alasan- dan dasar pertimbangan yang
dipergunakan (para) arbiter dalam mengambil putusan , tanggal diambilnya
putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang ditnda tangani oleh
(para) arbiter. Dalam hal salah seorang arbiter menolak menandatangani
putusan, hal ini harus dicantumkan dalam putusan tersebut, agar putusan
ini berkekuatan sama dengan putusan yang ditanda tangani oleh semua
arbiter. (pasal 632 jo pasal 633 Rv)
Penyebutan
tanggal dan tempat putusan diambil merupakan hal yang penting, karena
terhitung empat belas hari dari sejak putusan dikeluarkan, putusan
tersebut harus didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negeri
setempat, yaitu tempat dimana putusan arbitrase telah diambil (pasal 634
ayat (1) Rv). Putusan arbitrase tersebut hanya dapat dieksekusi , jika
telah memperoleh perintah dari Ketua Pengadilan Negeri tempat putusan
itu didaftarkan, yang berwujud pencantuman irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada bagian atas dari asli putusan
arbitrase tersebut . selanjutnya putusan arbitrase yang telah memperoleh
irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” tersebut
dapat dilaksanakan menurut tatacara yang biasa berlaku bagi pelaksanaan
suatu putusan pengadilan (pasal 639 Rv).
Menurut
ketentuan pasal 641 ayat (1) Rv, terhadap putusan arbitrase yang
mempunyai nilai perselisihan pokok lebih dari 500 rupiah dimungkinkan
untuk banding kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam pasal 15
Undang-undang Nomor 1/1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan
pengadilan Mahkamah Agung Indonesia ditentukan pula bahwa hanya putusan
dengan pokok perselisihan yang memiliki nilai lebih dari 25.000 rupiah
saja yang dapat dimintakan bandingnya kepada Mahkamah Agung. Walaupun
menurut kedua ketentuan tersebut, putusan arbitrase dapat dimintakan
banding, ketentuan pasal 642 Rv. Dengan jelas menyebutkan bahwa tiada
kasasi maupun peninjauan kembali dapat diajukan terhadap suatu putusan
arbitrase, meskipun para pihak telah memperjanjian yang demikian dalam
persetujuan mereka. Dapat ditambahkan disini bahwa kemungkinan untuk
meminta banding, seperti disebut diatas, dapat dikesampingkan oleh para
pihak dengan mencantumkan secara tegas kehendak tersebut dalam klausula
atau persetujuan arbitrase yang mereka buat tersebut (Pasal 641 ayat (1)
Rv)
D. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Pelaksanaan
putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu putusan arbitrase
nasional dan putusan arbitrase asing (internasional). Putusan arbitrase
nasional adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional, yang
diputuskan di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase
asing adalah putusan arbitrase yang diputuskan di luar negeri.
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan
putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun
1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara
sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan
tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan
negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan
autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke
panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri,
final dan mengikat.
Putusan
Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti
putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan
Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki
Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal
terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi
perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan
arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase
internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat
menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya
hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Asing (Internasional)
Semula
pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan
pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang
merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi
berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York
ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York
tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus
1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret
1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun
1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan
dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut
hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia
seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih
ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
E. Hapusnya Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian sengketa terjadi peristiwa-peristiwa:
- Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.
- Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, novasi (pembaharuan utang), dan insolvensi.
- Pewarisan.
- Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok.
- Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut.
- Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Pada
penjelasan diatas telah kita bahas hal-hal yang berhubungan dengan
alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase sehingga dapat kita
ketahui bahwa pada dasarnya alternatif penyelesaian sengketa selain
melalui sistem peradilan juga telah dikenal dan diakui, yaitu arbitrase.
Arbitrase adalah suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang
dilakukan, diselenggarakan dan diputuskan oleh arbiter atau majelis
arbitrase, yang merupakan “hakim swasta”. Ada beberapa kelebihan yang
dimiliki arbitrase, diantaranya adalah:
- Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin karena proses penyelesaian secara tertutup sehingga tidak bisa diakses oleh media massa (pihak luar).
- Terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dengan kata lain proses lebih cepat, jadwal dapat ditetapkan sesuai kepakatan para pihak.
- Para pihak dapat memilih arbiter (hakim swasta) yang dinggap sangat berkompeten berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta memiliki personalia yang jujur dan adil.
- Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya, para pihak juga dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase.
- Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Selain itu,
dengan menggunakan alternatif penyelesaian sengketa (arbitrase) tidak
terlalu formal dan jangka waktu penanganan perkara atau sengketa hingga
penyelesaiannya, yang relatif lebih cepat jika dibanding dengan
penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
Cristine; Kansil. 1994. Hukum Perusahaan Indonesia edisi kedua (aspek hukum dalam bisnis). Jakarta : PT Pradnya Paramita
Widjaja, Gunawan; Yani, Ahmad. 2001. Hukum Arbitrase (seri hukum bisnis). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Gautama, Sudargo. 1996. Aneka Hukum Arbitrase (kearah hukum arbitrase indonesia yang baru). Bandung : PT Citra Aditya Bakti
Harahap, M.Yahya. 2001. Arbitrase edisi kedua. Jakarta : Sinar Grafika
0 komentar:
Posting Komentar