Indonesia
merupakan Negara yang menganut system Demokrasi dalam pengelolaan
Negara. Sistem demokrasi ini diwujudkan dalam sebuah partisipasi atau
berperannya rakyat dalam menentukan pemimpin yang akan menduduki kursi
pemerintahan. Partisipasi tersebut berupa penggunaan hak suara dalam
menentukan siapa pemimpin Negara Indonesia ini. Pengumpulan hak-hak
suara tersebut dilakukan dalam sebuah program pemerintah yang disebut
dengan Pemilihan Umum.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah
suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi
jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini
beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat
pemerintahan, sampai kepala desa. Sistem pemilu digunakan adalah asas
luber dan jurdil. Para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan
kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan
program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu
yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah
pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu
ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang
sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih.
Pemilu
di Indonesia pada mulanya hanya digunakan untuk memilih anggota-anggota
yang duduk dalam parlemen. Sepanjang sejarah Indonesia, telah terjadi 9
kali pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu pada tahun 1955, 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 (pemilu anggota DPD
pertama).
- Pemilu 1955
Pemilu
pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih
anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut
dengan Pemilu 1955. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua
tahap, yaitu:
- Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
- Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima
besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi,
Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam
Indonesia.
- Pemilu 1971
Pemilu
berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5
Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan
diikuti oleh 10 partai politik. Lima besar dalam Pemilu ini adalah
Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan
Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi
(penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik
(yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan
satu Golongan Karya.
- Pemilu 1977-1997
Pemilu-Pemilu
berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden
Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde
Baru".
- Pemilu 1999
Pemilu
berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu
Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni
1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48
partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Pada pemilu 1999 hanya
bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan
presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
- Pemilu 2004
Pada
Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga
perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah. Pada
pemilu tahun inilah, hak suara rakyat digunakan untuk tujuan yang
berbeda yaitu pemilu yang merupakan pemilu pertama di mana para peserta
dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka.
Pemenang pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini
dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang
berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk
memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati
yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
- Pemilu 2009
Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat 2009. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan
suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan
Wakil Presiden. Untuk dapat mengusulkan , partai politik atau koalisi
partai politik harus mendapatkan 25 % suara sah nasional dan 20 % kursi
DPR . Apabila tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan
kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan
pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
PEMBAHASAN
Pemilihan
Umum (Pemilu) menurut UU no 10 tahun 2008 adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dari pengertian pemilu tersebut, dapat dilihat bahwa
pelaksanaan pemilu harus dilaksanakan dengan jujur dan adil. Karena itu
pelaksanaan pemilu harus didukung oleh transparansi keuangan
partai-partai politik peserta pemilu untuk mengurangi berbagai bentuk
penyelewengan dana kampanye atau adanya politik uang dalam kampanye.
Pemilu
yang menghabiskan dana sebesar 10,4 triliun rupiah seharusnya dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Warga Negara Indonesia untuk menentukan
arah kemajuan bangsa ini minimal lima tahun kedepan. Jadi
kecurangan-kecurangan dalam pelaksanan pemilu hendaknya dihindari agar
tidak terjadi masalah di kemudian hari. Misalnya adanya masalah politik
uang bisa saja partai peserta pemilu yang tidak memenangkan pemilu tidak
mengakui hasil perhitungan suara dan akan meminta untuk dilakukan
pemilihan ulang yang tentunya saja akan menambah biaya pemilu.
Dalam
rangka untuk mencegah penyelewengan dana kampanye, mencegah adanya
politik uang dalam pelaksanaan kampanye, meningkatkan transparansi
keuangan dan meningatkan akuntabilitas, UU No.10 tahun 2008 bagian
kesepuluh mengatur tentang dana kampanye. Bagian ini mengatur tentang
sumber dana kampanye, bentuk, jumlah sumbangan maksimal dari perorangan
maupun badan, pencatatan dana kampenye, pelaporan dan audit dana
kampanye. Selain UU No.10 tahun 2008, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga
mengeluarkan Peraturan KPU No. 01 tahun 2009 yang mengatur tentang
pedoman pelaporan dana kampanye Partai Politik peserta pemilihan umum
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, serta calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2009. Hal ini menunjukan bahwa
terlaksananya pemilu yang bersih memang sangat diharapkan oleh semua
pihak.
Untuk
melaksanakan adanya pemilu yang bersih maka disusunlah Undang-Undang
dan peraturan di atas yang mewajibkan semua partai politik dan calon DPD
peserta pemilu untuk melakukan pencatatan penerimaan, pengeluaran atau
pengelolaan dana kampanye secara tertib. Dana kampanye tersebut disimpan
dalam rekening tersendiri yang berbeda dari rekening umum partai
politik. Rekening tersebut adalah rekening khusus dana kampanye.
Berkaitan dengan adanya rekening tersebut, dilarang menggunakan dana
kampanye untuk keperluan kampanye sebelum dimasukkan ke rekening
tersebut.
Bentuk penerimaan dapat berupa uang maupun barang dan jasa. menurut Peraturan KPU No.1 Tahun 2009, dijelaskan:
- Terhadap penerimaan berupa uang harus disajikan dalam bentuk rupiah. Apabila terdapat mata uang lain, maka sajikan dalam bentuk konversi mata uang tersebut ke dalam mata uang rupiah dengan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal transaksi.
- Terhadap penerimaan berupa barang dan jasa, harus disajikan dalam bentuk satuan barang dan jasa tersebut. Jika barang dan jasa tersebut dapat diketahui nilai rupiahnya, maka sajikan juga nilai rupiah barang dan jasa tersebut berdasarkan harga pasar.
Penerimaan
dan pengeluaran dana kampanye tersebut akan dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat dan Negara. Seperti yang tertuang dalam Pasal 1 Butir 3
dan Pasal 7 Ayat 1 dan Ayat 2 UU Keterbukaan Informasi Publik
menyebutkan Badan Publik yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara, yang sumber dananya sebagian atau seluruhnya
berasal dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah,
sepanjang dana mereka sebagian maupun seluruhnya berasal dari APBN
dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri berkewajiban
untuk menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik
yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan, yang berada di bawah
kewenangannya, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan
ketentuan. Karena Partai politik juga termasuk dalam organisasi yang
menggunakan dana dari pemerintah, audit (terutama dana kampanye) harus
dilakukan guna mendukung transparansi dan akuntabillitasnya terhadap
publik.
Lampiran
Peraturan KPU No.01 tahun 2009 menyebutkan tentang tanggung jawab atas
laporan. Di lampiran tersebut tertulis bahwa tanggung jawab atas
aktivitas penyelenggaraan pemilu adalah penanggungjawab penyelenggara
pemilu, sedangkan tanggung jawab atas laporan dana kampanye berada pada
pihak yang wajib menyampaikan laporan dana kampanye, dengan rincian
sebagai berikut:
- Laporan dana kampanye calon anggota DPD adalah tanggung jawab calon anggota DPD yang bersangkutan.
- Laporan dana kampanye partai politik adalah tanggung jawab Ketua Umum dan Bendahara Umum Partai Politik.
- Laporan penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye DPP adalah tanggung jawab Ketua Umum dan Bendahara Umum partai Politik.
- Laporan penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye DPD Propinsi adalah tanggung jawab Ketua dan Bendahara DPD Propinsi.
- Laporan penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye DPD Kabupaten/Kota adalah tanggung jawab Ketua dan Bendahara DPD Kabupaten/Kota.
Tanggung
jawab ini dinyatakan dalam suatu surat penyataan tanggung jawab. Jika
sebuah partai politik terbukti melakukan kecurangan, maka partai politik
tersebut akan mendapat sanksi dari KPU. Yaitu berupa pembatalan
keikutsertaanya dalam pemilu di daerah tersebut.
Partai
politik, organisasi Partai Politik (UU Nomor 2 tahun 2008 tentang
Partai Politik) secara hierarkis terdiri dari Dewan Pimpinan Pusat
(DPP), Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Propinsi dan Dewan Pimpinan Daerah
(DPD) Kabupaten/Kota. Masing-masing tingkatan (hierarkis) partai politik
wajib menyusun laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang
berada dalam penguasaannya. Oleh karenanya, dalam menyusun laporan dana
kampanye partai politik, partai politik harus menggabungkan semua
laporan penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye pada tingkat DPP, DPD
propinsi, dan DPD Kabupaten/Kota.
Agar
dapat menggabungkan semua laporan penerimaan dan pengeluaran partai
politik di semua tingkatan, maka DPP, DPD Propinsi dan DPD
Kabupaten/kota diwajibkan untuk mencatat dan menyampaikan laporan
penerimaan dan pengeluarannya sebagai bahan penyusunan laporan gabungan.
Dan agar tidak membingungkan partai plitik dalam membuat laporan
konsolidasian, dalam Peraturan KPU No.1 tahun 2009 telah mengatur
tentang format laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye.
Dengan
adanya audit dana kampanye diharapkan partai politik peserta pemilu
tidak “macam-macam” dalam menggunakan dana kampanye. Selain itu juga
dituntut sebuah kedisiplinan dan profesionalitas dari partai politik
untuk mengelola dana kampanyenya sendiri. Mereka dapat
mempertanggungjawabkan apa yang mereka terima baik dari Negara maupun
dari donator yang lain. Audit ini dipandang semakin perlu karena
Indonesia sekarang sudah mengarah pada Good corporate governance yang
salah satunya menuntut sebuah transparasi terhadap penggunaan uang
Negara.
Audit
yang dilakukan oleh kantor Akuntan Publik atas laporan dana kampanye
adalah audit sesuai prosedur yang disepakati (agreed upon procedures).
KAP yang bisa melaksanakan audit dana kampanye adalah KAP yang meneuhi
minimal dua syarat yang telah ditetapkan KPU. Syarat-syarat tersebut adalah:
- membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup bahwa rekan yang bertanggungjawab atas pemeriksaan laporan dana kampanye tidak berafiliasi secara langsung ataupun tidak langsung dengan partai politik dan calon Anggota DPD;
- membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup bahwa rekan yang bertanggungjawab atas pemeriksaan laporan dana kampanye bukan merupakan anggota atau pengurus partai politik.
PERMASALAHAN YANG ADA PADA AUDIT DANA KAMPANYE
Terkait
audit laporan dana kampanye partai politik, saat ini KPU dihadapkan
kepada sejumlah kendala. Pertama, tidak seimbangnya antara jumlah
laporan yang harus diaudit dan jumlah kantor akuntan publik. Terdapat
sekitar 18.200 entitas laporan keuangan dana kampanye yang harus
diaudit. Kondisi ini sangat tidak seimbang dengan 423 kantor akuntan
publik yang dua ratus di antaranya di Jakarta, sisanya tersebar di 22
provinsi.
Kedua,
waktu pemeriksaan yang pendek. Berdasarkan UU Pemilu tidak boleh lebih
dari tiga puluh hari sejak laporan diterima, kantor akuntan publik harus
menyampaikan laporan auditnya kepada KPU. Hal ini tentunya sangat
mempengaruhi kualitas audit. Bisa diperkirakan jika KAP kekurangan waktu
untuk mengaudit dana kampanye dengan seksama yang terjadi adalah KAP
hanya memikirkan bagaimana untuk menyelesaikan tugasnya dengan tepat
waktu bukan memikirkan tentang kualitas auditnya.
Ketiga,
terbatasnya jumlah tenaga auditor. Hanya ada sekitar tujuh ratus tenaga
akuntan publik. Untuk kedua masalah tersebut, pelibatan BPK merupakan
salah satu alternatif solusi memecahkan keterbatasan jumlah kantor
akuntan publik, karena BPK juga termasuk Auditor eksternal. Jika
melibatkan BPKP, meskipun perwakilan BPKP tersebar hampir di semua
provinsi tidaklah tepat karena BPKP merupakan auditor internal dan ada
kemungkinan conflict of interest bagi BPKP. Namun, hal ini masih menjadi
perdebatan karena UU memerintahkan, yang berhak melakukan audit dana
kampanye parpol hanya kantor akuntan publik. Satu KAP tidak boleh
mengaudit lebih dari satu partai politik dalam satu provinsi yang sama.
Jika ingin mengaudit partai lain harus berbeda provinsi.
Walaupun
peraturan sudah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi
pelanggaran dalam pemilu, bukan berati pemilu aman dari politik uang.
Oknum pengurus partai politk dan calon anggota legislative dan calon
Dewan Perwakilan Daerah masih saja bisa melakukan kecurangan. Misalnya
dia menggunakan rekening lain atas nama orang lain yang digunakan untuk
membiayai kampanyenya. Sehingga sumbangan-sumbangan yang illegal akan
masuk ke dalam rekening tersebut dan dana hasil sumbangan yang “tidak
benar” tersebut bisa digunakan untuk melakukan hal-hal yang bisa
mengarah pada kecurangan dalam pemilu, misalnya politik uang. Dengan
cara demikian, jika rekening khusus dana kampanyenya diaudit maka opini
yang keluar bisa opini wajar tanpa pengecualian karena auditor tidak
menemukan masalah.
Selain
itu peraturan untuk mengaudit dana kampanye tidak di tujukan pada calaon
anggota legislatif melainkan pada partai politik dan DPD sehingga calon
anggota legislatif mungkin masih bisa melakukan kecurangan-kecurangan.
KESIMPULAN
Perkembangan
transparansi keuangan pada organisasi maupun pemerintah di Indonesia
sedikit-dikit telah mengarah pada perbaikan. Hal ini sejalan dengan
keinginan masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Good
Corporate Governance (GCG). GCG memerlukan sebuah kedisiplinan dan
profesionalitas dalam melakukan pengelolaan keuangan Negara.
Begitu
pula dalam pelaksanaan pemilu, transparansi keuangan sangat diperlukan
karena pemilu diadakan untuk memilih pemimpin yang duduk dalam parlemen
sebagai wakil rakyat dimana wakil rakyat tersebut dituntut untuk
melaksanakan suatu pemerintahan yang sehat sesuai dengan Undang-Undang
dan keinginan rakyat.
Pemerintah,
dalam hal ini KPU telah melakukan terobosan baru untuk melaksanakan
transparansi keuangan dan meningkatkan akuntanbilitas partai politik
kepada public yaitu dengan dilaksanakanya audit dana kampanye yang
dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik. Penulis merasa bahwa ini merupakan
sebuah perkembangan yang baik untuk mengurangi pelanggaran-pelanggaran
dalam kampanye. Jika diketahui terjadi pelanggaran pemilu oleh suatu
parpol maka parpol tersebut dapat dibatalkan keikutsertaanya dalam
pemilu.
Dengan adanya
sanksi tersebut, maka diharapkan dapat mencegah terjadinya pelanggaran
oleh parpol selain itu juga menumbuhkan kesadaran partai politik dalam
transparansi pelaporan penerimaan dan pengeluaran keuangan mereka.
Pada
pemilu yang akan datang kebijakan mengenai audit dana kampanye
sebaiknya dipertahankan dan tetap ditingkatkan agar tujuan tersebut
tercapai. selain itu partai politik maupun calon-calon pemimpin yang
akan terpilih dapat lebih meningkatkan keprofesionalitasan dan
integritasnya agar terwujud kedewasaan demokrasi.
Kedewasaan
demokrasi tersebut akan tercapai bila didukung oleh masyarakat dan juga
bagi para pemimpin yang tidak terpilih sebaiknya menerima dengan lapang
dada tanpa harus melakukan tindakan yang bisa mengacaukan kondisi
social politik di Indonesia. Hal yang seharusnya terjadi adalah
terciptanya kebersamaan dalam membangun kemajuan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar