Sudah
banyak kajian yang menyebut pasar tradisional kini mengalami ancaman
serius dari masifnya penetrasi dan ekspansi pusat perbelanjaan dan
retail modern. Studi UGM, Nielson, SMERU, dan INDEF, mengkonfirmasi
menurunnya omset pedagang di pasar tradisional maupun toko-toko lokal.
Sayangnya, sampai dengan saat ini belum ada upaya serius dari banyak
pihak terutama pemerintah untuk mengantisipasi hal itu.
Baru-baru
ini Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Lembaga Ombudsman Swasta
(LOS) DIY juga melakukan studi dalam konteks Yogyakarta. Secara umum
terdesaknya pedagang pasar tradisional atau pebisnis retail lokal, di
antaranya dalam bentuk menurunya omset penjualan. Penelitian ini
menemukan penurunan rata-rata sebesar –5,9%, namun penurunan yang lebih
besar dialami oleh kelompok pedagang dengan aset antara Rp 5-15 juta, Rp
15-25 juta, dan di atas Rp 25 juta, yang masing-masing mengalami
penurunan sebesar –14,6%, –11%, dan – 20,5%. Berdasarkan kewilayahan,
penurunan omset tertinggi dialami oleh pedagang di kota Yogyakarta dan
kabupaten Sleman, masing-masing sebesar – 25,5% dan – 22,9%.
Lebih
khusus, penelitian ini juga menemukan bahwa yang paling terkena dampak
adalah mereka yang pasokan dagangannya berasal dari industri/pabrikan
dan lokasinya berdekatan dengan toko modern. Sementara pedagang yang
lebih banyak menjual barang mentah atau produk pertanian atau industri
desa cenderung tidak separah kelompok di atas. Penelitian ini mengungkap
bahwa pedagang pasar tradisional yang menjual produk pabrikan sebesar
34%, produk pabrikan dan produk desa sebesar 18%, produk impor 3%, dan
produk desa sebesar 45%.
Pada
tingkat nasional, saat ini 28 ritel modern utama menguasai 31% pangsa
pasar ritel dengan total omset sekitar Rp. 70,5 trilyun. Ini artinya
bahwa satu perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5 Trilyun omset
ritel/tahun atau Rp. 208,3 milyar/bulan. Padahal kalau ditelusuri omset
ritel modern tersebut terkonsentrasi pada 10 ritel inti, yakni
minimarket Indomaret dan Alfamart (83,8%), supermarket Hero, Carrefour,
Superindo, Foodmart, Yogya, dan Ramayana (75%), dan hypermarket
Carrefour (48,7%), Hypermart (22%), Giant (17,7%), Makro (9,5%), dan
Indogrosir (1,9%) (Pandin, 2009).
Hal
ini kontras dengan ritel tradisional yang memiliki total omset sebesar
Rp. 156,9 trilyun namun dibagi kepada sebanyak 17,1 juta pedagang, yang
70%-nya masuk kategori informal. Dengan demikian satu usaha pedagang
tradisional rata-rata hanya menikmati omset sebesar Rp. 9,1 juta /tahun
atau Rp. 764,6 ribu/bulan.
Perlindungan vs Free fight liberalism
Penetrasi
pasar modern secara makro ekonomi tidak saja mengancam pelaku pasar
tradisional, tetapi juga pelaku ekonomi pada sektor-sektor lain. Dengan
kondisi struktur perdagangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kondisi persaingan usaha di Indonesia makin mengarah pada pola monopoli
atau oligopoli sebagai dampak dari pengaruh globalisasi ekonomi (pasar
bebas).
Sayangnya,
regulasi pada tingkat nasional terkait perdagangan (Perpres No 112/2007
dan Permendag No 53/2008) tidak memiliki kecukupan material dan
substansial dalam memberi arah dan model perlindungan dan pengembangan
sistem nilai, modal sosial, dan pelaku pasar tradisional. Semangatnya
justru lebih mengarah pada persaingan bebas (free fight liberalism). Isi
kedua regulasi tersebut lebih mengakomodasi ketelanjuran tatanan
perdagangan saat ini di mana telah terjadi dominasi peritel besar
daripada memenuhi semangat dan imperasi konstitusional yang terdapat
dalam Pasal-Pasal Sosial-Ekonomi Undang-Undang Dasar 1945.
Draft
RUU Perdagangan yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR saat ini juga
lebih mencerminkan ketertundukan pada kenyataan faktual daripada
cita-cita yang ideal (law as a tool of social enginering). Regulasi
tersebut hanya melahirkan kebijakan residual, yang menjadikan pelaku
pasar tradisional tetap akan sebagai obyek proyek dan pemain pinggiran.
Meskipun
demikian, kekaburan semangat, arah, dan model perlindungan dan
pengembangan perdagangan rakyat, telah memberi ruang lebar bagi
eksistensi regulasi daerah. Dalam konteks perlindungan, maka beberapa
regulasi daerah yang sudah ada maupun sedang dirancang di Propinsi DIY
sudah menunjukkan semangat dan ketegasan aspek/model perlindungan bagi
pelaku pasar tradisional. Namun bagaimana perlindungan terhadap sistem
nilai dan modal sosial, serta arah, aspek, dan model pengembangan pasar
tradisional masih belum jelas dan sangat ditentukan oleh tafsir dan
orientasi pemangku kebijakan daerah.
Kebijakan
perlindungan semestinya ditujukan untuk melindungi sistem nilai
(kebersamaan dan kekeluargaan), modal sosial (budaya produksi), dan
seluruh elemen pelaku pasar tradisional di Propinsi DIY meliputi
pedagang, pemasok, pengecer, pekerja informal, dan konsumen. Sesuai
dengan UUD 1945 maka perlindungan pelaku pasar tradisional mencakup
perlindungan terhadap elemen material, intelektual, dan institusional
mereka.
Perlindungan
ketiga dimensi dan elemen tersebut semestinya meliputi berbagai aspek
komprehensif mencakup pembatasan (kuota) jumlah toko modern, penetapan
lokasi dan jarak (zonasi), pembatasan jam buka toko modern, pembagian
produk yang dijual, pengaturan perijinan, penyebaran kepemilikan dan
penilikan toko modern, penyeimbangan hubungan antara pedagang besar,
menengah, dan kecil (pembagian pangsa pasar), dan penegasan arah dan
pola pembinaan pasar tradisional.
Strategi Inovasi Pasar Tradisional
Berdasarkan
paparan di atas, maka strategi yang harus ditempuh dalam pengembangan
pasar tradisional mencakup beberapa hal, yakni: penguatan organisasi
pelaku pasar untuk mengembangkan SDM pelaku pasar, kemitraan produsen
lokal dengan koperasi pasar untuk pengembangan produk lokal, pembelian
kolektif melalui koperasi pasar untuk memperbaiki harga bagi produsen
dan pedagang kecil, penataan (setting) pasar dan revitalisasi kios zona
depan untuk memaksimalkan fungsi tempat pasar, menggerakkan kecintaan
publik sejak dini melalui berbagai promosi di media public, melakukan
berbagai inovasi bisnis untuk mengoptimalkan layanan kepada pelanggan.
Sedangkan
pada aspek pelaku, perlu upaya serius untuk mengembangkan modal
material (inovasi bangunan, lay-out dan setting, dan produk yang dijual
di pasar tradisional), modal intelektual (inovasi cara bisnis, pemasaran
“nilai sosial” (social marketing), dan pencitraan (branding) pasar
tradisional, dan institusional (inovasi membership, usaha kolektif,
resource map, dan jaringan (networking) organisasi pelaku pasar
tradisional). Secara khusus pengembangn koperasi pasar dapat dilakukan
melalui perluasan basis keanggotaan, diversifikasi usaha, perluasan
kemitraan, dan pendidikan anggota secara intensif.
Tawaran
model yang bisa didorong untuk pengembangan pasar di antaranya adalah
Model Pasar Mandiri, Model Perpaduan Pasar Barang, Pasar Jasa, dan Pasar
Even Regional, Model Perpaduan Pasar Tradisional dan Klaster Pasar
Khusus, Model Perpaduan Pasar Desa, Pasar Khusus, dan Pasar Even Lokal,
Model Koridor Ekonomi (Shopping-belt) Pasar Khusus Wisata, dan Model
Pengembangan Bursa Koperasi Pasar Yogyakarta (Bukopy).
Studi
PUSTEK-UGM dan LOS DIY yang berlangsung pada akhir tahun 2010 dan awal
2011 ini dapat dijadikan salah satu awalan bagi kebijakan perlindungan
dan pengembangan pasar tradisional di DIY. Diharapkan juga studi ini
dapat dijadikan pemantik bagi upaya pemerintah dan DPR DIY yang saat ini
sedang menyusun Raperda, pemerintah dan DPRD kabupaten dan Kota yang
sedang berbenah dalam pengelolaan pasar tradisional.
Selain
itu pada level pelaku langsung seperti dinas pasar, koperasi pasar,
pedagang pasar, APPSI, dapat merapatkan barisan untuk tetap semangat
dalam bekerjasama mengembangkan pasar tradisional di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dengan begitu semoga gebyar pasar di DIY tidak semakin
meredup dan pasar tidak justru makin ilang kumandange.
0 komentar:
Posting Komentar