Dalam
tiga tahun terakhir, aneka ujian ekonomi silih berganti menerpa
negara-negara di dunia, tidak terkecuali negara di kawasan ASEAN. Pada
2008 lalu krisis keuangan dunia sempat menghancurkan beberapa negara di
ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Namun,
pada 2010 negara-negara tersebut beranjak pulih dan sepenuhnya kemudi
ekonomi bisa dikendalikan lagi. Tidak lama setelah itu, ujian datang
dalam wujud kerja sama ekonomi ASEAN plus China (ASEAN China Free Trade
Agreement/ACFTA).
Umumnya,
negara-negara anggota ASEAN kalah bersaing dengan China sehingga neraca
perdagangannya cenderung defisit berhadapan dengan China, termasuk
Indonesia. Saat
ini ASEAN juga dihadapkan dengan krisis ekonomi yang terjadi di
negara-negara maju (AS, Uni Eropa, dan Jepang) sehingga pasti akan
memengaruhi kinerja ekonomi 2012. Situasi inilah yang menjadi latar
belakang penyelenggaraan KTT ASEAN pekan lalu.
Kapasitas Ekonomi ASEAN
Jika
dibagi dalam dua kategori besar, anggota ASEAN terdiri atas lima negara
yang memiliki kekuatan ekonomi cukup besar dan lima negara yang ukuran
ekonominya kecil. Lima negara yang mempunyai kekuatan cukup besar adalah
Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Lima
negara ini karakteristik ekonominya sebetulnya hampir sama, kecuali
Singapura. Empat negara ekonominya berpijak pada sektor pertanian,
industri, dan perdagangan; sedangkan Singapura kuat di sektor jasa.
Sementara itu, Vietnam, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Brunei Darussalam
tergolong kecil ukuran ekonominya. Negara-negara
ini juga relatif sama konsentrasinya, kecuali Brunei yang mengandalkan
kepada minyak. Dengan deskripsi ini, kerja sama ekonomi di tingkat ASEAN
sebetulnya juga tidak mudah dilakukan karena perbedaan keadaan “dua
blok” itu.
Besar
kecilnya ukuran ekonomi suatu negara biasanya diasosiasikan dengan
produk domestik bruto (PDB). Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar
(240 juta) memiliki PDB yang paling besar, yaitu USD706,74 miliar. Setelah
itu disusul oleh Thailand (USD312,61 miliar), Malaysia (USD237,96
miliar), Singapura (USD194,62 miliar), dan Filipina (USD188,72 miliar).
Sedangkan Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Brunei kekuatan PDB-nya
jika digabung masih di bawah USD75 miliar (IMF, 2011). Sungguh pun
begitu, PDB itu tidak secara otomatis menunjukkan daya beli rata-rata
suatu negara.
Daya
beli lebih dekat dengan menggunakan ukuran pendapatan per kapita (PDB
dibagi jumlah penduduk), yang dari sisi ini Singapura, Thailand, dan
Malaysia menyisihkan Indonesia. Jadi, PDB Indonesia besar lebih banyak
disebabkan jumlah penduduk. Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi dari
blok yang pertama, dalam tiga tahun terakhir relatif cukup seimbang,
kecuali pada 2009.
Pada
2009 itu, Indonesia tumbuh 5,4 persen, Malaysia 4,6 persen, Thailand
-2,3 persen, Singapura empat persen, dan Filipina tumbuh 1,1 persen.
Namun, pada 2010 pertumbuhan ekonomi Thailand amat fantastis, yakni 7,8
persen. Pertumbuhan
tersebut hanya kalah dibandingkan Singapura 12 persen. Sementara itu,
pada 2010 Indonesia tumbuh 6,1 persen, Malaysia 4,8 persen, dan Filipina
6,1 persen. Pada 2011 ini diproyeksikan empat dari lima negara akan
tumbuh di atas 4,5 persen, hanya Thailand yang diprediksi tumbuh rendah,
sekira 2,6 persen saja (IMF, 2011).
Titik Pijak Kerja Sama
ASEAN
sebetulnya mempunyai daya tarik ekonomi yang tinggi, bukan semata
karena pertumbuhan ekonominya yang bagus, melainkan juga memiliki
potensi lain yang besar. Penduduk di ASEAN cukup besar, yaitu 700 juta
jiwa, sehingga ini merupakan pasar yang potensial. PDB-nya
mencapai USD1,5 triliun (2010), investasi asing sebesar USD75,8 miliar
(2010), dan pertumbuhan investasi asing menyentuh angka 131,8 persen.
Ini menandakan wilayah ini merupakan salah satu tujuan investasi asing
langsung, di samping China dan India. Berikutnya,
pertumbuhan perdagangan intra-ASEAN sebesar 31,2 persen per tahun dan
nilai transaksi perdagangan intra-ASEAN pada 2010 sebesar USD519,7
miliar. Nilai transaksi itu melonjak amat signifikan dibanding 2009, di
mana pada tahun tersebut nilai perdagangan intra-ASEAN baru USD76,2
miliar (Bloomberg, 2011). Keadaan
seperti itulah yang menjadikan ASEAN berada dalam pusaran tarikan
kepentingan negara-negara raksasa ekonomi, khususnya AS dan China.
Pada
KTT ASEAN minggu lalu, Obama dan Hu Jintao sama-sama datang ke Bali,
yang tentu saja dimaksudkan hendak berebut pengaruh di ASEAN. Dalam
konteks seperti ini kerja sama ekonomi ASEAN mesti bersandar kepada dua
titik pijak. Pertama,
membuat pemerataan pembangunan ekonomi antaranggota ASEAN agar daya
saing mereka dalam memasuki persaingan ekonomi dunia menjadi merata.
ASEAN
hanya akan relevan apabila semua negara merasa mendapat manfaat dari
kerja sama ekonomi. Jika tidak, ikatan regional ini mudah lepas dan
menjadi sasaran godaan dari wilayah/negara lain. Kedua, AS saat ini
sangat agresif dalam menawarkan kerja sama ekonomi (Trans- Pacific
Partnership/TPP) kepada beberapa negara yang masuk dalam ASEAN, termasuk
tawaran kepada Indonesia. Sebaiknya,
keikutsertaan maupun penolakan masing-masing negara untuk terlibat
dalam TPP sudah dibicarakan pada level ASEAN.
Jika memang satu
kesepakatan tidak bisa diambil,sekurangnya negara yang ikut dalam TPP
telah diketahui dan disetujui oleh anggota ASEAN lainnya. Celakanya,
proses ini tampaknya tidak dilakukan, terbukti Singapura, Thailand,
Malaysia, dan Vietnam sudah setuju bergabung dalam TPP sebelum KTT ASEAN
diselenggarakan, sedangkan Indonesia sampai hari ini sikapnya menolak
bergabung. ASEAN
perlu lebih kritis lagi membaca peta perubahan ekonomi global agar
keputusan yang diambil tidak menjerat kawasan ini dalam pusaran
globalisasi ekonomi yang demikian buas.
AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef (Koran SI/Koran SI/ade)
0 komentar:
Posting Komentar